Mengenai Saya
- Nadzifah_Nadie incredible
- Malang, Malang/ Jawa Timur
- Jurusan Biologi '07 Fakultas Sains dan Teknologi
Selasa, 29 Desember 2009
Filsafat Ilmu (perspektif sosial dan budaya)
Nadzifah
07620006
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.LATAR BELAKANG
Sejak berabad- abad yang lalu, manusia telah mengembangkan filsafat untuk memahami hakikat hidup dan kehidupan ini dengan sistem yang di anggap benar dan membawa manfaat bagi kehidupan manusia itu sendiri.
Berbagai teori produk filsafat di bidang kehidupan sosial manusia muncul dipermukaan untuk diaplikaskan dalam menata kehidupan masyarakat dan diuji dalam mengantarkan manusia menuju apa yang dicita- citakannya.
Dizaman moderenisasi ini sudah banyak langkah yang diambil manusia untuk mengembangkan pengetahuan yang secara garis besar banyak mengundang kontroversi etika, moral, hukum dan agama seperti teknik reproduksi buatan (praktek bayi tabung) yang banyak dijadikan jalan keluar untuk mengatasi sulitnya mendapatkan keturunan. Dalam hal ini kita tidak boleh melupakan agama karena agama sangat menjunjung tinggi teknologi.
1.2.RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, maka rumusan masalahnya adalah: Bagaimana Konsep Ilmu Pengetahuan (dalam perspektif Sosial dan Budaya) ?
1.3.TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan, maka tujuannya adalah: Untuk mendapatkan sebuah kesimpulan mengenai Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Sosial dan Budaya.
BAB II
KAJIAN TEORITIK
Ditinjau dari segi sejarahnya, hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang sangat tampak. Pada permulaan sejarah filsafat di Yunani, “philosophia” meliputi hampir seluruh pemikiran teoritis. Tetapi dalam perkembangan ilmu pengetahuan dapat dilihat adanya kecenderungan yang lain. Filsafat Yunani Kuno yang tadinya merupakan suatu kesatuan kemudian menjadi terpecah- pecah.
Nuchelmans (1982), mengemukakan bahwa dengan munculnya ilmu pengetahuan alam pada abad ke 17, maka mulailah terjadi perpisahan antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian dapatlah dikemukakan bahwa sebelum abad ke 17 tersebut ilmu pengetahuan adalah identik dengan filsafat. Pendapat tersebut sejalan dengan pemikiran Van Peursen (1985), yang mengemukakan bahwa dahulu ilmu merupakan bagian dari filsafat, sehingga definisi tentang ilmu bergantung pada sistem filsafat yang dianut.
Dalam perkembangan lebih lanjut menurut Koento Wibisono (1999), filsafat itu sendiri telah mengantarkan adanya suatu konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana pohon ilmu pengetahuan telah tumbuh mekar- bercabang secara subur. Masing-masing cabang melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri dan masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri. Dengan demikian, perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru bahkan kearah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti spesialisasi-spesialisasi. Oleh karena itu tepatlah apa yang dikemukakan oleh Van Peursen (1985), bahwa ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin-menjalin dan taat asas (konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat ditentukan.Terlepas dari berbagai macam pengelompokkan atau pembagian dalam ilmu pengetahuan, sejak F. Bacon (1561-1626) mengembangkan semboyannya “Knowledge Is Power”, kita dapat mensinyalir bahwa peranan ilmu pengetahuan terhadap kehidupan manusia, baik individual maupun sosial menjadi sangat menentukan. Karena itu implikasi yang timbul menurut Koento Wibisono (1984), adalah bahwa ilmu yang satu sangat erat hubungannya dengan cabang ilmu yang lain serta semakin kaburnya garis batas antara ilmu dasar-murni atau teoritis dengan ilmu terapan atau praktis.
Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek sasarannya Ilmu (Pengetahuan). Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu yaitu, ontologi, epistemologi dan aksiologi. Hal ini didukung oleh Israel Scheffler (dalam The Liang Gie, 1999), yang berpendapat bahwa filsafat ilmu mencari pengetahuan umum tentang ilmu atau tentang dunia sebagaimana ditunjukkan oleh ilmu. Interaksi antara ilmu dan filsafat mengandung arti bahwa filsafat dewasa ini tidak dapat berkembang dengan baik jika terpisah dari ilmu. Ilmu tidak dapat tumbuh dengan baik tanpa kritik dari filsafat. Dengan mengutip ungkapan dari Michael Whiteman (dalam Koento Wibisono dkk.1997), bahwa ilmu kealaman persoalannya dianggap bersifat ilmiah karena terlibat dengan persoalan-persoalan filsafati sehingga memisahkan satu dari yang lain tidak mungkin. Sebaliknya, banyak persoalan filsafati sekarang sangat memerlukan landasan pengetahuan ilmiah supaya argumentasinya tidak salah.
Filsafat adalah ilmu Pengetahuan dan Teknologi, filsafat tidak memperlihatkan banyak kemajuan dalam bidang penyelidikan. Ilmu pengetahuan dan Teknologi bahkan melambung tinggi mencapai era nuklir dan sudah diambang kemajuan dalam mempengaruhui penciptaan dan reproduksi manusia itu sendiri dengan revolusi genetika yang bermuara pada bayi tabung I di Inggris serta diambang kelahiran kurang lebih 100 bayi tabung yang sudah hamil tua.
Di satu pihak fakta yang tak dapat dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berutang kepada ilmu pengetahuan dan teknologi, berupa penciptaan sarana yang memudahkan pemenuhan kebutuhan manusia untuk hidup sesuai dengan kodratnya. Inilah dampak positifnya disatu pihak sedangkan dipihak lainnya berdampak negatifnya sangat menyedihkan.
Ilmu bertujuan untuk menguasai alam, jika telah berkembang sering melupakan faktor eksitensi manusia, sebagai bagian daripada alam, yang merupakan tujuan pengembangan ilmu itu sendiri kepada siapa manfaat dan kegunaannya dipersembahkan. Kemajuan ilmu teknologi bukan lagi meningkatkan martabat manusia itu, tetapi bahkan harus dibayar dengan kebahagiaannya. Berbagai polusi dan dekadensi dialami peradaban manusia disebabkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu.
Menurut pendapat Aristoteles tentang abstraksi. Pemikiran manusia melampaui 3 jenis abstraksi (kata Latin ‘abstrahere’ yang
berarti menjauhkan diri, mengambil dari). Dari setiap jenis abstraksi itu menghasilkan satu jenis pengetahuan yaitu :
1) Pengetahuan Fisis,
2) Pengetahuan Matematis,
3) Pengetahuan Teologis.
Dalam kenyataannya manusia mulai berpikir bila ia mengamati, mengobservasi sesuatu. Faktor keheranan, kesangsian dan kesadaran akan keterbatasan manusia barulah timbul setelah pengamatan atau observasi lebih dahulu. Peranan ratio atau akal budi manusia melepaskan (mengabstrahir) dari pengamatan inderawi suatu segi-segi tertentu yaitu materi yang dapat dirasakan ratio atau akal budi manusia bersama dengan materi yang 'abstrak' itu menghasilkan pengetahuan yang disebut "fisika' (dari kataYunani 'Physos' = alam).
Berkembagnya teknologi pada era globalisasi ini melahirkan manusia- manusia yang berakal. Teknologi dapat direkayasa dengan akalnya, seperti teknik reproduksi buatan (bayi tabung).
Proses pembuahan dengan metode bayi tabung antara sel sperma sel suami dengan sel telur isteri, sesungguhnya merupakan suatu upaya medis untuk memungkinkan sampainya sel sperma suami ke sel telur isteri. Sel sperma tersebut akn membuahi sel telur bukan pada tempatnya yang alami, sel telur yang telah dibuahi ini kemudian akan diletakkan pada rahim isteri dengan metode tertentu sehinnga kehamilan akan terjadi secara alamiah di dalamnya.
Pada dasarnya pembuahan yang alami terjadi dalam rahim melalui cara yang alami pula (hubungan seksual), sesuai dengan fitrah yang telah di tetapkan oleh Allah untuk manusia. Akan tetapi pembuahan yang alami ini terkadang sulit terwujud, misalnya karena rusaknya atau tertutupnya saluran indung telur (tuba fallopii) yang membawa sel telur ke rahim, serta tidak dapat diatasi dengan cara membuka atau mengobatinya. Atau karena sel sperma suami lemah atau tidak mampu menjangkau rahim isteri untuk bertemu dengan sel telur, serta tidak dapat diatasi dengan cara memperkuat sel sperma tersebut, aatu mengupayakan sampainya sel sperma ke rahim isteri agar bertemu dengan sel telur di sana. Semua ini akan meniadakan kelahiran dan menghambat suami isteri memperbanyak anak. Padahal Islam telah menganjurkan dan mendorong hal tersebut dan kaum muslim pun telah disunnahkan melakukannya. Kesulitan tersebut dapat di atasi dengan suatu upaya medis agar pembuahan antara sel sperma dengan sel telur dapat terjadi di luar tempatnya yang alami. Setelah sel sperma suami dapat sampai dan membuahi sel telur isteri dalam suatu wadah yang mampunyai kondisi alami rahim, rahim isteri. Dengan demikian kehamilan alami diharapkan dapat terjadi dan selanjutnya akan dapat dilahirkan bayi secara normal. Proses seperti ini merupakan uapaya medis untuk mengatasi kesulitan yang ada, dan hukumnya boleh (ja’iz) menurut syara’, sebab upaya tersebut adalah upaya untuk mewujudkan apa yang disunnahkan oleh Islam, yaitu kelahiran dan berbanyak anak, yang merupakan salah satu tujuan dasar dari suatu pernikahan. Diriwayatkan dari Anas RA bahwa Nabi SAW telah bersabda :
تـَزَوَّجُـوْا الْـــوَدُوْدَ الوَلُــوْدَ ، فـَـاِنــِّي مــُكَاثـرٌ بِكــُمُ الأنــبِـيـَـاءَ يــَومَ القِـــيـَـامَــةِ
“ Menikahlah kalian dengan perempuan yang penyayang dan subur, sebab sesunguhnya aku aku akan berbangga dihadapan nabi dengan banyaknya jumlah kalian pada Hari Kiamat nanti ” (HR. Ahmad).
Pada dasarnya, upaya untuk mengusahakan terjadinya pembuahan yang tidak alami hendaknya tidak ditempuh, kecuali setelah tidak mungkin lagi mengusahakan terjadinya pembuahan alami dalam rahim isteri, antara sel sperma suami dengan sel telur isterinnya. Dalam proses pembuahan buatan dalam cawan untuk menghasilkan kelahiran tersebut, diisyaratkan sel sperma harus milik suami dan sel telur harus milik isteri. Dan sel telur isteri yang telah terbuahi oleh sel sperma suami dalam cawan, harus diletakkan pada rahim isteri. Hukumnya haram bila sel telur isteri yang telah terbuahi diletakkan dalam rahim perempuan yang bukan isteri atau apa yang biasa disebut sebagai ibu pengganti (surrogate mother). Begitu juga haram hukumnya bila proses dalam pembuahan buatan tersebut terjadi antara sel sperma suami dengan sel telur bukan isteri, meskipun sel telur yang telah dibuahi nantinya akan diletakkan dalam rahim isteri, demikian juga haram hukumnya apabila pembuahan yang terjadi antara sel sperma bukan suami dengan sel telur isteri meskipun nantinya diletakkan dalam rahim isteri. Dari ketiga bentuk proses di atas tidak dibenarkan dalam hukum Islam, sebab akan menimbulkan pencampuradukan dan penghilangan nasab, yang telah diharamkan dalam ajaran Islam. Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwa dia telah mendengar Rasulullah SAW bersabda ketika turun ayat li’an :
أيـُّمـَاامْـرَأةٍ أَدْخَـلَتْ عَلىَ قَـوْمٍ نَسَــبًا لَيـْـسَ مِنـْهُمْ فـَلَيْـسَتْ مِنَ الله فِي شَـيْئٍ، وَلَنْ يَدْخُـلَهَـا الله الجـَـنَّةَ، وأيـُّمَـارَجُــلٍ حَجـَـدَ وَلـَـدَهُ وَهُـوَ يَـنْـظُــُر اِلَيْــهِ اِحْــتَجَبَ الله مِنْهُ وَفَضَـحَهُ عَلىَ رُؤُوْسِ الأوَّلـِـيْنَ وَالآخِــرِين
“Siapa saja perempuan yang telah memasukkan kepada suatu kaum nasab yang bukan dari kalangan kaum itu, maka dia tidak akan mendapat apapun dari Allah dan Allah tidak akan pernah memasukkannya ke dalam surga. Dan siapa saja laki-laki yang mengingkari anaknya sendiri padahal dia melihat (kemiripan)nya, maka Allah akan tertutup darinya dan Allah akan membeberkan perbuatannya itu di ahadapan orang-orang yang terdahulu dan kemudian (pada Hari Kiamat nanti) (HR. Ibnu Majah)
BAB III
ANALISIS
2.1. Ontologis Konsep Ilmu Pengetahuan Berdasarkan Perspektif Sosial dan Budaya
Secara ontologis bayi tabung merupakan jalan keluar untuk mengatasi masalah pada pasutri (pasangan suami istri) yang tidak dianugerahi keturunan. Fenomena ini dapat diperbolehkan karena terdesak dan memang benar- benar ingin memperoleh keturunan dari hasil perkawinannya meskipun dilakukan diluar perkawinan.
Ontologi merupakan cabang filsafat yang mengkaji tentang sifat (wujud) atau lebih sempit lagi sifat fenomena yang ingin kita ketahui. Dalam ilmu pengetahuan sosial ontologi terutama berkaitan dengan sifat interaksi sosial. Menurut Stephen Litle John, ontologi adalah mengerjakan terjadinya pengetahuan dari sebuah gagasan kita tentang realitas. Bagi perspektif sosial ontologi memiliki keluasan eksistensi kemanusiaan.
Dalam struktur realitas, menurut perspektif sosial merupakan bahasan dalam ranah relasi atas manusia. Dari situ dapat diketahui bahwa sosial merupakan suatu perspektif yang bersifat banyak (plural). Sebab, sosial berjalan dalam pembahasan relasi atas manusia, dan pada dasarnya, manusia bersifat kompleks, berbeda satu sama lain. Setiap pribadi memiliki modelnya masing-masing, oleh karena itu, sosial pun bersifat banyak atau plural. Sedangkan menurut perspektif budaya, banyak negara- negara yang menggunakan teknik bayi tabung seperti negara Inggris untuk mengatasi terjadinya kemandula. Namun di Indonesia jarang sekali adanya teknik tersebut. Hal ini kemungkinan besar banyaknya biaya yang akan dikeluarkan maupun sesuksesan dalam praktek bayi tabung akan berjalan lancar. Selain itu adanya kesadaran yang berangkat dari kesadaran tentang realitas atas tangkapan indra dan hati, yang kemudian diproses oleh akal untuk menentukan sikap mana yang benar dan mana yang salah terhadap suatu obyek atau relitas. Cara seperti ini bisa disebut sebagai proses rasionalitas dalam ilmu. Sedangkan proses rasionalitas itu mampu mengantarkan seseorang untuk memahami metarsional sehingga muncul suatu kesadaran baru tentang realitas metafisika, yakni apa yang terjadi di balik obyek rasional yang bersifat fisik itu. Kesadaran ini yang disebut sebagai transendensi, di dalam firman Allah (QS. 3: 191), artinya:
Artinya : (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa api neraka.
Bagi orang-orang yang beriman, proses rasionalitas dan spriritualitas dalam ilmu bagaikan keeping mata uang, antara satu sisi dengan sisi yang lain merupakan satu kesatuan yang bermakna. Bila kesadarannya menyentuh realitas alam semesta maka biasanya sekaligus kesadarannya menyentuh alam spiritual dan begitupun sebaliknya.
Hal ini berbeda dengan kalangan yang hanya punya sisi pandangan material alias sekuler. Mereka hanya melihat dan menyadari keutuhan alam semesta dengan paradigma materialistik sebagai suatu proses kebetulan yang memang sudah ada cetak birunya pada alam itu sendiri. Manusia lahir dan kemudian mati adalah siklus alami dalam mata rantai putaran alam semesta. Atas dasar paradigma tersebut, memunculkan kesadaran tentang realitas alam sebagai obyek yang harus dieksploitasi dalam rangka mencapai tujuan-tujuan hedonistis yang sesaat. Alam menjadi laboratorium sebagai tempat uji coba keilmuan atheistik, di mana kesadaran tentang Tuhan atau spiritualitas tidak tampak bahkan sengaja tidak dihadirkan dalam wacana pengembangan ilmu. Orientasi seperti ini yang oleh Allah dikatakan dalam Al Qur’an, bukan untuk menambah kesyukuran dan ketakwaan, melainkan fenomena alam semesta yang diciptakan-Nya itu menambah sempurnanya kekufuran mereka (QS 17: 94-100).
Pada hakekatnya semua itu adalah hak manusia dan kebutuhan dasar manusia dalam pemanfaatan genom bagi kehidupan sebagian dari hak manusia seolah manusia tidak akan pernah mati, didalam keuggulan otaknya dan khayalnya yang tidak terbatas. Ditengahnya terdapat isu tentang kesehatan reproduksi sebagai hak manusia dan hak asasinya.
2.2 Epistemologis Konsep Ilmu Pengetahuan Berdasarkan Perspektif Sosial dan Budaya
Secara epistemologis adanya teknik reproduksi buatan (bayi tabung) merupakan usaha untuk menjembatani manusia agar menyadari bahwa sebenarnya teknik itu dijadikan sebagai pengetahuan ketidaktahuannya. Pengetahuan itu dianggap sah dan biasa saja yang akan dibandingkan kebenarannya dan semua itu barawal dari benar ketika benar menurut pengetahuan tersebut. Terkadang manusia melakukan trial and error untuk mengetahui sesuatu, degan harapan akan mendapatkan kebenaran. Dari sinilah manusia ingin menggapai suatu hakikat dan berupaya mengetahui sesuatu yang tidak diketahuinya. Manusia sangat memahami dan menyadari bahwa:
1.Hakikat itu ada dan nyata
2.Kita bisa mengajukan pertanyaan tentang hakikat itu
3.Hakikat itu bisa dicapai, diketahui, dan dipahami
4.Manusia bisa memiliki ilmu, pengetahuan, dan makrifat atas hakikat itu. Akal dan pikiran manusia bisa menjawab persoalan-persoalan yang dihadapinya, dan jalan menuju ilmu dan pengetahuan tidak tertutup bagi manusia.
Dalam perspektif sosial, bayi tabung banyak menimbulkan kontroversi. Hal ini disebabkan karena jika ini dilakukan dan dilegalkan maka akan terjadi perdagangan bayi secara ilegal, para wanita tidak membutuhkan seorang laki- laki sebagai pasangan hidupnya, akan menguntungkan sebagian pihak saja, dan secara etika, moral, dan hukum.
Dalam perspektif budaya, dengan adanya teknik reproduksi buatan (bayi tabung) akan menimbulkan adanya kebiasaan dalam suatu daerah. Hal ini hanya semata- mata untuk kepentingan manusia saja dan merupakan pelanggaran dalam budaya apabila hal ini masih dilakukan.
2.3 Aksiologis Konsep Ilmu Pengetahuan Berdasarkan Perspektif Sosial dan Budaya
Dalam hal ini bayi tabung sangat dilarang keras untuk dilegalkan karena dalam agama, khususnya agama Islam tidak dianjurkan untuk memproduksi bayi tabung. Dalam agama telah diajarkan etika, dan etika merupakan nilai perbuatan manusia, maka lebih tepat dikatakan bahwa obyek formal etika adalah norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik di dalam suatu kondisi yang normatif, yaitu suatu kondisi yang melibatkan norma- norma. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena disekelilingnya.
Apabila seorang manusia melanggar hal tersebut, maka manusia tersebut dapat dikatakan sebagai manusia yang tidak beretika dan melanggar norma- norma batasan agama yang telah ditetapkan. Baik dari perspektif sosial maupun budaya akan merusak keestetikan suatu agama.
Nilai moral tidak berdiri sendiri, tetapi ketika ia berada pada atau menjadi milik seseorang, ia akan bergabung dengan nilai yang ada seperti nilai agama, hukum, budaya, dan sebagainya. Yang paling utama dalam nilai moral adalah yang terkait dengan tanggung jawab seseorang. Norma moral menentukan apakah seseorang berlaku baik ataukah buruk dari sudut etis. Bagi seorang ilmuwan, nilai dan norma moral yang dimilikinya akan menjadi penentu, apakah ia sudah menjadi ilmuwan yang baik atau belum.
Aksiologi merupakan cabang filsafat yang berkaitan dengan nilai seperti etika, estetika, atau agama. Sehingga pandangan bayi tabung dalam cabang fisafat khususnya aksiologi membahas value (nilai-nilai) dari perspektif sosial maupun budaya dapat mengurangi nilai yang ada sebagai manusia yang berakal.
BAB IV
PENUTUP
1.1.KESIMPULAN
Pokok bahasan dalam filsafat ilmu adalah sejarah perkembangan ilmu dan teknologi, hakekat dan sumber pengetahuan serta kreteria kebenaran. Disamping itu, filsafat ilmu juga membahas persoalan objek, metode dan tujuan ilmu yang tidak kala pentingnya adalah sarana ilmiah. Filsafat ilmu memberi spirit bagi perkembangan dan kemajuan ilmu dan sekaligus nilai-nilai moral yang terkandung pada setiap ilmu, baik pada tatanan ontologis, epistimologis, maupun aksiologis yang dalam hal ini penulis menempatkan filsafat ilmu dalam perspektif sosial budaya dan ilmu pengetahuan sebagai dataran aksiologinya dalam teknik reproduksi buatan (bayi tabung), yaitu agama sebagai pemberi nilai terhadap ilmu pengetahuan bahwasannya secara aksiologis fenomena ini (bayi tabung) berkaitan dengan nilai etika, estetika, dan agama.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Azhim, Ali. 1984. Epistemologi dan Aksiologi Ilmu Perspektif Islam, Penerj. Khalilullah A.M.H, Rosda, Bandung
Audah, Ali. 1997. Konkordasi Qur’an, Litera antar Nusa, Bandung: Mizan
Beerling dkk. 1986. Pengantar Filsafat Ilmu, alih bahasa Soedjono Soemargono,, Yogyakarta: Tiara Wacana
Ghulsyani, Mahdi. 1990. Filsafat Sains Menurut Al Qur’an, penerj. Agus Efendi, Bandung: Mizan
Ha’iri Yazdi, Mehdi,1994. Ilko Hudhuri, penerj. Ahsin Mohamad. Bandung: Mizan
Hardono, Hadi. 1994. Epistemologi : Filsafat Pengetahuan,Yogyakarta: Kanisius,), hal. 13
Iqbal, Muhammad. 1986. Membangun Kembali Pemikiran Agama dalam Islam, terj. Ali Audah dkk, Jakarta: Tintamas,
Kartanegara, Mulyadhi, 2003. Menkalinan Tirai Kejahilan Pengantar Epistemologi Islam. Bandung: Mizan,
Ricoeur, Paul. 2006. Hermeneutika Ilmu Sosial. Yogyakarta : Kreasi wacana
Santoso, Heri dan Listiyono Santoso. 2003. Filsafat ilmu sosial. Yogyakarata : gama media
Suriasumantri, Jujun S. 1998. Filsafat Ilmu Suatu Pengantar Populer, Jakarta: Sinar Harapan,
Susanto, Astrid S. 1976. Filsafat komunikasi. Bandung : Binacipta
http//alislamu.google.com
http//pusatkajian islam.google.com
http//ilmu dalam islam.google.com
Kamis, 24 Desember 2009
GYMNOSPERMAE
Melinjo (Gnetum gnemon L.) atau dalam bahasa Sunda disebut Tangkil adalah suatu spesies tanaman berbiji terbuka (Gymnospermae) berbentuk pohon yang berasal dari Asia tropik dan Pasifik Barat.
Klasifikasi ilmiah Gnetum gnemon (Melinjo)
Kerajaan: Plantae
Divisi : Gnetophyta
Kelas : Gnetopsida
Ordo : Gnetales
Famili : Gnetaceae
Genus : Gnetum
Spesies : Gnetum gnemon
untuk Ginkgo biloba...klasifikasinya
Kingdom: Plantae
Divisio : Ginkgophyta
Class : Ginkgoopsida
Order : Ginkgoales
Family : Ginkgoaceae
Genus : Ginkgo
Species : Ginkgo biloba
Untuk Pinus.. klasifikasinya
Kingdom : Plantae
Divisi : Pinophyta
Kelas : Pinopsida
Ordo : Pinales
Famili : Pinaceae
Genus : Pinus
Spesies : Pinus merkusii
biokimia
Klorofil adalah kelompok pigmen fotosintesis yang terdapat dalam tumbuhan, menyerap cahaya merah, biru dan ungu, serta merefleksikan cahaya hijau yang menyebabkan tumbuhan memperoleh ciri warnanya. Terdapat dalam kloroplas dan memanfaatkan cahaya yang diserap sebagai energi untuk reaksi-reaksi cahaya dalam proses fotosintesis.
Klorofil A merupakan salah satu bentuk klorofil yang terdapat pada semua tumbuhan autotrof. Klorofil B terdapat pada ganggang hijau chlorophyta dan tumbuhan darat. Klorofil C terdapat pada ganggang coklat Phaeophyta serta diatome Bacillariophyta. Klorofil d terdapat pada ganggang merah Rhadophyta
Jenis-jenis klorofil:
-Klorofil a dengan rumus kimia C55H72O5N4Mg berwarna hijau biru.
-Klorofil b dengan rumus kimia C55H70O6N4Mg berwarna hijau kuning.
Senin, 14 Desember 2009
Doryopteris sp.
Jurusan Biologi
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
DESKRIPSI
MORFOLOGI
DAUN
Doryopteris sp. merupakan paku tanah yang menyerupai paku pohon. Doryopteris sp. digolongkan dalam divisi Pteridophyta dengan bagian- bagian daunnya yang tidak lengkap memiliki tangkai (petiolus) dan helaian daun (lamina) saja. Daunnya berwarna hijau tua yang kaya akan zat warna hijau daun yakni klorofil. Doryopteris adalah tumbuhan herba dengan bagian pipih ental berbentuk tunggal dan terbagi menjadi beberapa banyak anak daun yang tersususn menjari menyirip. Betuk daunnya bulat telur sungsang dengan bentuk ujung daunnya meruncing. Bentuk pangkalnya menempel dan tepi daunnya bergerigi.
Doryopteris sp. mempunyai ukuran yang bervariasi, diantaranya ada yang berukuran 30 cm sampai berukuran 60 cm atau lebih. Dilihat dari kesamaan ukuran daunnya Doryopteris sp. termasuk daun yang mempunyai ukuaran sama atau disebut dengan isofil. Permukaan daunnya mempunyai ramenta.
BATANG
Batang Doryopteris sp. berwarna hijau berupa rimpang yang menjalar. Menurut (Loveless, 1987) semua batang paku- pakuan kerap berupa rimpang karena pada umumnya arah tumbuhnya menjalar atau memanjat sedangkan bentuk batang Doryopteris sp. bulat beratur dan berusuk secara longitudinal beruas- ruas panjang dan kaku.
Permukaan batang paku Doryopteris sp. berupa ramenta yakni bentukan seperti rambut atau sisik berwarna hitam. Ukuran dan diameter batangnya pun bervariasi dari beberapa milimeter sampai beberapa meter. Menurut (Becker, 1939) diameter paku- pakuan bervariasi dari beberapa sentimeter.
SPORA
Doryopteris sp. mempunyai spora yang tersebar dibagian bawah daun pada tangkai keluar di atas permukaan tanah. Susunan sporfil pada Doryopteris sp. tersusun rapat dan membentuk struktur strobilus, yang berdekatan dan berkelompok pada ujung batang dan cabang- cabang lateral. Selain itu juga membentuk konus yakni sporofil- sporofil yang berdekatan dan berkelompok membentuk struktur seperti kerucut yang terdapat pada ujung batang dan cabang lateral.
Bentuk sporangiumnya membulat, duduk dan bertangkai pendek yang terdiri dari tangkai, sel bibir (stomium), sel cincin (anulus), dan bentuk sporanya bilateral yang terdapat di dalam.
KLASIFIKASI
Kingdom : Plantae
Divisi : Pteridophyta
Family : Polypodiales
Ordo : Dryopteridaceae
Spesies : Doryopteris sp.
Sabtu, 07 November 2009
taksonomi tumbuhan tinggi
KEYS TO THE PTERIDOPHYTES OF PAPUASIA
J.R. Croft
Introduction
The following keys cover the genera of ferns and fern allies recorded from Papuasia, the geographical area including the political units of Papua New Guinea, Irian Jaya and the Solomon Islands. All genera except Thayeria and Matonia, known from single collections from Irian Jaya, have been collected in Papua New Guinea; these two genera may turn up with more intensive collection; all genera known from the Solomon Islands are also known from Papuan New Guinea and the New Guinea mainland.
This is a complilation of keys from various sources. The basic architecture of the main key to families is that of Holttum (1959 - General key No. 1). This key was selected because it relies less heavily on the vasculature of the stipe than his Key No. 2, a character not readily evident in dried material, and works well both in the field and in the herbarium. It has been modified to exclude those genera known not to occur in Papuasia, and expanded to include the fern-allies, and to accommodate a few deficiencies of the original key when applied to the Papuasian flora. For purely practical reasons the families have been named in accordance with Holttum's arrangement of Pichi-Sermolli's system presented in the 8th edition of Willis' "Dictionary of the flowering plants and ferns" (Willis 1973).
In many instances pteridologists disagree over the allocation of genera to families and a complete resolution of these difference is unlikely in the near future. Some of the various alternatives are indicated in the notes after each family key.
For a sequential arrangement of the pteridophytes see Crabbe, Jermy and Mickel (1975). This arrangement has been adopted by several major herbaria, although controversy still exists over the rank and composition of some of the groups (e.g. Pichi Sermolli 1977; Brownsey et al. 1985).
The keys to genera are fundamentally those of Holttum (1959), expanded to include the improvements of subsequent revisions, and those genera added to the flora as a result of recent collections. The most notable contribution here is Holttum's elaboration of the Thelypteridaceae.
Bracketed keys have been used for the practical considerations of ease of format and conservation of space. In the long keys headings have been inserted to make the keys easier to use for those familiar with pteridophytes. Those who are unsure should follow through each step in turn.
General References:
Van Alderwerelt van Rosenburg, C.R.W.K. 1908. Malayan ferns. Handbook to the determination of the ferns of Malayan Islands. Batavia.
Van Alderwerelt van Rosenburg, C.R.W.K. 1915. Malayan fern allies. Handbook to the determination of fern allies of the Malayan islands. Batavia.
Van Alderwerelt van Rosenburg, C.R.W.K. 1917. Malayan ferns and fern allies. Suppliment 1. Batavia.
Bierhorst, D.W. 1971. Morphology of vascular plants. Macmillan, New York.
Ching, R.C. 1940. A natural classification of the family Polyodiaceae. Sunyatsenia 5: 201 - 68.
Christensen, C. 1906. Index Filicum. (reprinted 1973, Otto Koeltz, Koenigstein.)
Christensen, C. 1913. Index Filicum. Supplementum 1906 - 1912. (reprinted 1973, Otto Koeltz, Koenigstein.)
Christensen, C. 1917. Index Filicum. Supplement preliminaire pour les annes 1913, 1914, 1915, 1916. (reprinted 1973, Otto Koeltz, Koenigstein.)
Christensen, C. 1934. Index Filicum. Supplementum tertium pro annis 1917 - 1933. (reprinted 1973, Otto Koeltz, Koenigstein. (for suppl. IV see Pichi-Sermolli 1965).
Copeland, E.B. 1929. The oriental genera of the Polypodiaceae. Un. Cal. Publ. Bot. 16: 45 - 128.
Copeland, E.B. 1947. Genera filicum, the genera of ferns. Ronald Press, New York. i - xiv, 1 - 247, pl. 1 - 10.
Crabbe, J.A., Jermy, A.C. & Mickel, J.T. 1975. A new generic sequence for the pteridophyte herbarium. Brit. Fern Gaz. 11: 141 - 162.
Holttum, R.E. 1949. The classification of ferns. Biol. Rev 24: 267 - 296.
Holttum, R.E. 1959 1. Introductory note; 2. List of Malaysian Pteridophytes; 3. The morphology of ferns; 4. General key No 1 to Pteropsida; 5. General key No 2 to Pteropsida; 6. Keys to the genera of Pteropsida; 7. Bibliography. Fl. Males. ser. 2 a: I - XXIII.
Jermy, A.C., Crabbe, J.A. & Thomas, B.A. (eds.) 1973. The phylogeny and classification of ferns. Suppl. 1, Bot. J. Linn. Soc. 67.
Pichi-Sermolli, R.E.G. 1965. Index Filicum. Supplementum quartum pro annis 1934 - 1960. I.U.B.S., Utrecht.
Pichi-Sermolli, R.E.G. 1970. A provisional catalogue of the family names of living pteridophytes. Webbia 25: 219 - 297.
Pichi-Sermolli, R.E.G. 1973. Historical review of the higher classification of the Filicopsida. In Jermy, A.C., Crabb, J.A. & Thomas, B.A. eds, Phyllogeny and classification of the ferns. Suppl. 1 Bot. J. Linn. Soc. 67: 11 - 40, f. 1 - 8, pl. 1 - 19.
Pichi-Sermolli, R.E.G. 1977. Tentamen pteridophytorum genera in taxanomicum ordinam redigendi. Webbia 31: 315 - 512.
Willis, J.C. 1973. A dictionary of the flowering plants and ferns. Ed. 8 (edited by H.K. Airy Shaw). Cambridge Univ. Press. i-xxii, 1 - 1245, i-lxvi. (All pteridophyte entries and Introduction to Pteridophyta xiii - xvi by R.E. Holttum)
Regional references:
Brownlie, G. 1969. Flore de la Nouvelle-Caledonie et dependances. 3. Pteridophytes. Mus. Nat. Hist. Natur., Paria. 1 - 307, pl. 1 - 39.
Brownlie, G. 1977. The pteridophyte flora of Fija. Beih. Nova Hedwigia 55: 1 - 397, pl. 1 - 44.
Brownsey, P.J., Given, D.R. & Lovis, J.D. 1985. A revised classification of the New Zealand pteridophytes with a synomymic checklist of species. New Zealand J. Bot. 23: 431 - 489.
Copeland, E.B. 1958 - 1960. Fern flora of the Philippines. Vol. 1 - 3. Manila Bureau of Printing. 1 - 555.
Croft, J.R. 1985. Ferns and fern allies. In Leach, G.J. & Osborne, P.L., Fresh water plants of Papua New Guinea. pp. 32 - 74, f. 6 - 13. Univ. P.N.G. Press, Port Moresby.
Holttum, R.E. 1954 revised 1965. Ferns of Malaya. A revised flora of Malaya. Volume 2. 1 - 643. Incl. Appendix by I. Manton, Cytological notes on 100 species of Malayan ferns. Govt. Printer, Singapore.
Johns, R.J. & Bellamy, A. 1979. Ferns and fern allies of Papua New Guinea. P.N.G. Office of Forests. (checklist of genera, treatments of several families; continuing series)
Jones, D.L. & Clemesha, S.C. 1976. Australian ferns and fern allies, with notes on their cultivation. Reed pty ltd, Sydney. 1 - 294, f. 1 - 252, pl. 1 - 60.
Jones, D.L. & Clemesha, S.C. 1981. Ditto. 2nd edition. 1 - 232, f. 1 - 297, pl. 1 - 60.
Wagner, W.H. & Grether, D.F. 1948. Pteridophytes of the Admiralty Islands. Un. Cal. Publ. Bot. 23: 17 - 110.
The Pteridophytes of Papuasia
Terrestrial, epiphytic, rupestral or aquatic (not marine) vascular plants of mostly moderate stature with distinct alternating generations: the gametophyte small and relatively short-lived and avascular producing the sexual organs antheridia (male) and archegonia (female); the sporophyte the dominant generation, large and vascular, producing asexual spores which develop into the gametophyte.
In Papuasia there are 187 genera of pteridophytes covering c. 1700 - 1800 species; undescribed taxa may push this figure as high as 2000. Worldwide there are 9000 - 12000 species in c. 350 genera. The allocation of families is always a matter of dispute among pteridologists the number ranging from c. 60 to less than 10; this treatment divides the genera among 44 families, largely by treating all families in their narrowest sense.
The pteridophytes are generally considered to be an unnatural collection of several unrelated groups that should have equal status to the Bryophyta (mosses and liverworts) and the Spermatophyta (seed-plants). There are 4 such groups: Psilopsida (Psilotum and Tmesipteris); Lycopsida (Lycopodium, Selaginella, Isoetes); Sphenopsida (Equisetum); Filicopsida (true ferns). However, in this treatment, for purely practical purposes, these divisions are ignored.
The descriptions and keys in this treatment cover only the sporophyte generation, since this is the stage that most people see and are familiar with. The gametophyte and sexual stages of pteridophytes are for the most part small and short-lived, and although they certainly offer useful diagnostic characters, they have only been studied for a very small proportion of the species.
Note: In this key the numbers in parentheses after key couplet numbers indicate the preceding couplet, thus "49 [42]" means that a choice in couplet 42 lead to couplet 49. This is to enable checking by working backwards in confusing situations.
List of families with keys to genera
Key to families
Leaves microphyllous, simple or once-divided, with a single vein and no petiole (fern allies)... | ...2 | |
| Leaves megaphyllous, variously divided with several to many veins (true ferns)... | ...6 |
[1] 2 - 3 (rarely 4) sporangia fused into a single synangium, and borne in the axils of minute and bract-like or larger and leaf-like bifid sporophylls; homosporous; axis not differentiated into roots... | ||
| Sporangia free, borne axillary on sporophylls which are often condensed into strobili; homosporous or heterosporous; axis with differentiated roots... | ... 3 |
[2] Plants cylindrical with regular sheathed nodes, scariose, bract-like leaves borne in a singe whorl at each node, the stem photosynthetic, hollow, containing many silica crystals; homosporous | ||
| Plants not cylindrical, bearing expanded photsynthetic leaves; homosporous or heterosporous | ... 4 |
[3] Aquatic (occasionally terestrial) rosette herbs with a thickened, compact, corm-like axis; leaves linear with 4 large longitudinal air-chambers | ||
| Terrestrial or epiphytic herbs, never rosettes nor corm-like, axis elongate and mostly branched; leaves short, without air-chambers | ... 5 |
[4] Heterosporous; leaves ligulate, 4-ranked, decussate but mostly dorsiventral with 2 larger rows beneath and 2 smaller rows above; stem often supported by stilt-like rhizophores at intervals... | ||
| Homosporous; leaves eligulate, mostly arranged in close spirals, sometimes decussate, sometimes dorsiventrally flattened with all but 2 rows reduced; supported by clusters of roots | |
[1] Aquatic plants or swamp plants, free floating, submerged or emergent, spending significant periods in or under water | ... 7 | |
| Land plants or epiphytes, if river-side plants then immersed for only brief periods during floor | ... 15 |
[6] Plants free-floating; leaves or leaf-like appendages simple or bilobed, smallish; plants spreading vegetatively by fragmentation | ... 8 | |
| Plants rooted in soil, mud, or on rocks, or on floating mats of vegetation, sometimes some plants free-floating as well; fronds large and pinnately divided; vegetative reproduction sometimes by marginal proliferous buds | ... 9 |
[7] Expanded leaves large (longer than 1 cm), simple, borne in opposite pairs on the surface of the water, a third leaf finely divided and root-like beneath the water, bearing the sporocarps | ||
| Leaves small (c. 1 mm long), bilobed, scale-like and overlappping, roots thin and thread-like | |
[7] Leaves divided into 4 equal, +/- radial lobes at the end of a long stalk; heterosporous, the spores borne in a capsule-like sporocarp | ||
| Leaves (fronds) pinnate or pinnately lobed or compound, not 4-partite; homosporous, the spores borne in thin-walled sporangia | ... 10 |
[9] High-climbing epiphytes starting from the ground, uncommonly scrambling and thicket-forming in the absence of trees; fronds pinnate, sterile with close parallel venation with a single series of very narrow areoles along the midrib, fertile very narrow and completely covered by sporangia | ||
| Ground ferns with radial or creeping rhizomes, in one case thicket-forming but never epiphytic; fronds pinnatifid to pinnately compound, veins freely anastomosing, or in pinnate groups, anastomosing or not, sporangia borne in discrete or continuous sori on non-contracted fronds, or if on contracted fronds, protected by the reflexed margin of the lamina | ... 11 |
[10] Rhizome +/- erect, sometimes decumbent, radial, woody or fleshy, plants not stoloniferous; venation freely reticulate without included free veinlets, not in pinnate groups; sporangia completely covering the lower surface of pinnae, or on contracted fertile fronds and protected by the reflexed margin | ... 12 | |
| Rhizome creeping, not radial, or if thin and radial plants spreading by wiry stolons; venation in pinnate groups, free or uniting, or reticulate with included free veinlets; sporangia borne in discrete +/- round sori | ... 13 |
[11] Large erect plants, stem stout, erect, woody; sporangia completely covering the entire lower surface of the upper few pinnae, the pinnae not contracted | ||
| Plants of moderate size, stem small, fleshy, with numerous air canals; sporangia borne on contracted fertile fronds and protected by the reflexed margin | |
[11] Fronds pinnate; veins forked, free and +/- parallel to the margin or in pinnate groups, free or uniting with neighbouring groups; sori small, often protected by an indusium | ... 14 | |
| Fronds pinnately lobed or simple with entire margins; veins freely reticulate, with included free veinlets; sori large not protected by indusia | |
[13] Sterile pinnae mostly entire or obscurely toothed, jointed to the rachis; veins forked, free and +/- parallel to the margin; plants propagating by wiry rhizomes; sori indusiate | ||
| Pinnae deeply or shallowly toothed, not articulate to the rachis; veins in pinnate groups in the lobes, free or united with veins of adjacent groups to form a single excurrent vein; plants not stoloniferous, sometimes with proliferating buds along the rachis; sori indusiate or not | |
[6] Epiphytes, not climbing from the ground | ... 16 | |
| Terrestrial plants, rock plants or climbers starting from the ground | ... 42 |
[15] Fronds simple, not over 2 mm wide, with a single vein, or with a few simple lateral soriferous veins close to the main vein | ||
| Fronds variously branched, or, if simple, with a more complex venation or lamina 1 cell thick | ... 17 |
[16] Lamina filmy, 1 cell thick, apart from the midribs of the segments | ||
| Lamina throughout more than 1 cell thick | ... 18 |
[17] Sporangia imbedded in a slender cylindrical appendage attached to the surface of the frond | ||
| Sporangia grouped in sori on, or sunken in, the surface of the frond | ... 19 |
[18] Sori not indusiate, sometimes variously protected in pockets, grooves or folds of the lamina | ... 20 | |
| Sori protected by an obvious indusium | ... 33 |
[19] Sporangia in discrete sori, not acrostichoid (i.e. not spreading over the entire surface of the frond) | ... 21 | |
| Sporangia acrostichoid, completely covering the whole or part of the the frond | ... 32 |
[20] Sori superficial, not in pockets or grooves | ... 22 | |
| Sori immersed in pockets or grooves which are sometimes marginal | ... 28 |
[21] Fronds simple, pinnatifid or pinnate; if pinnate, then the pinnae not articulate to the rachis | ... 23 | |
| Fronds pinnate, pinnae articulate to the rachis | ... 27 |
[22] Veins copiously reticulate | ... 24 | |
| Veins not, or only slightly anastomosing | ... 25 |
[23] Stipes articulate to phyllopodia or to the rhizome; rhizome scales mostly peltate-based; spores monolete | ||
| Stipes not articulate; rhizome scales mostly basally attached; spores trilete (Loxogramme) | |
[23] Frond pinnate with dimidiate pinnae; rhizome scales thin and clathrate | ||
| Pinnae or lobes +/- even-sided, not dimidiate; rhizome scales opaque or clathrate | ... 26 |
[25] Frond and stipe +/- hairy; spores trilete | ||
| Frond and stipe not hairy; spores monolete | |
[22] Pinnae entire | ||
| Pinnae toothed or lobed | |
[21] Sori in pockets or depressions, +/- circular | ... 29 | |
| Sori elongate in grooves | ... 30 |
[28] Veins anastomosing, or, if free, then fronds not hairy | ||
| Veins free, fronds +/- hairy | |
[28] Soral grooves all evenly oblique to costs | ||
| Soral grooves marginal or intramarginal or parallel to the margin, or uneven in direction, sometimes anastomosing | ... 31 |
[30] Scales entirely opaque, usually brown | ||
| Scales dark grey or nearly black, strongly clathrate (cells translucent with dark transverse cell walls) | |
[20] Veins much anastomosing; spores without a perispore | ||
| Veins free, or slightly anastomosing near the edge; spores with a perispore | |
[19] Sori elongate along the veins | ||
| Sori short, on veins, or at the ends of veins, or elongate along the edge of the lamina | ... 34 |
[33] Sori elongate along the veins | ||
| Sori at the ends of veins, close to or remote from the edge of the lamina | ... 37 |
[34] Pinnae articulate to the rachis | ||
| Pinnae +/- confluent with the rachis | ... 36 |
[35] Sorus protected by an indusium opening towards the margin of the lamina; rhizome portostelic | ||
| Sorus protected by a reflexed edge of the lamina; rhizome solenostelic | |
[34] Fronds articulate to the rhizome | ... 38 | |
| Fronds +/- confluent with the rhizome | ... 40 |
[37] Sori at the ends of the veins, near the edge of the lamina; fronds mostly variously divided | ... 39 | |
| Sori mid-way to the margin or close to the costa; frond simple | |
[38] Pinnae, if present, not jointed to the rachis | ||
| Fronds pinnate, the pinnae jointed to the rachis | |
[37] Indusium thin, circular, peltate | ||
| Indusium reniform, pouch-shaped or attached at the base, not peltate | ... 41 |
[40] Pinnae jointed to the rachis | ||
| Pinnae not jointed to the rachis | |
[15] High-climbing with rhizome starting from the ground | ... 43 | |
| Terrestrial or rock plants | ... 49 |
[42] Fronds thin and filmy, lamina 1 cell thick, several-times pinnatifid; sori in a marginal cup or tube | ||
| Fronds many cells thick, often tough, mostly pinnate, uncommonly more divided; sori protected by reflexed margin, or entirely covering the surface of the frond., or round, superficial and exindusiate | ... 44 |
[42] Sporangia in discrete, +/- round sori, the sori superficial, or somewhat immersed, remote from the margin, or the sori elongate along the veins | ... 45 | |
| Sporangia entirely covering the surface of the frond, or sorum elongate sorus along the margin | ... 47 |
[44] Fronds pinnate with pinnae articulate to the rachis, the pinnae toothed or lobed; sori superficial, circular | ||
| Fronds simple or pinnatifid, if pinnate then the pinnae not articulate to the rachis, margins entire or at most finely toothed; sori circular, elliptic, or elongate, sometimes sunken into the lamina | ... 46 |
[45] Veins copiously anastomosing; sori round, elliptic, rarely elongate, exindusiate | ||
| Veins free; sori elongate and parallel along the veins, indusiate | |
[44] Sorus elongate along the margin, protected by a relfexed flap of the margin | ||
| Sorus acrostichoid, completely covering lower surface of contracted fertile fronds | ... 48 |
[47] Rhizome +/- radia; veins anastomosing in a narrow series of areoles elongate along the costa (best seen at the apex of the pinna) | ||
| Rhizome dorsiventral; veins either free to the margin, or freely anastomosing | |
[42] Caudex often massive, erect, fleshy; stipes succulent with stipule-like outgrowths at their bases; 2 - 3-pinnate, bases of pinnae swollen; sporangia large and arranged in two short adjacent rows along a vein, sometimes fused into a single unit | ... 50 | |
| Not this combination of characters; if caudex and stipes fleshy, then not massive and lacking large auricles; sporangia not so arranged | ... 51 |
[49] Sporangia in each group united laterally into a +/- prism-shaped synangium | ||
| Sporangia in each group almost free, appearing as two adjacent rows astride a vein | |
[49] Lamina 1 or 2 cells thick apart from the midribs of the segments; stomata absent | ... 52 | |
| Lamina several to many cells thick throughout; stomata present | ... 53 |
[51] Sporangia attached to elongate slender receptacles in funnel- or cup-shaped pockets at the ends of the veins; caudex always small or creeping | ||
| Sporangia scattered on the surface of the veins; caudex stout and tree-like | |
[51] Apex of caudex or rhizome and bases of stipes hairy or bristly or apparently naked; flat scales lacking | ... 54 | |
| Apex of caudex or rhizome and bases of stipes, at least when young, scaly; sometimes also hairy | ... 68 |
[53] Caudex massive and erect, in a few cases tree-like, or +/- decumbent, radially organised, apex above ground bearing a close clump of fronds | ... 55 | |
| Caudex of rhizome otherwise, small, often creeping, usually entirely below the ground | ... 58 |
[54] Apex of caudex densely hairy; sori protected by reflexed lobe of the lamina and an inner cup-like indusium | ... 56 | |
| Apex of caudes naked, sometimes with a mucilaginous slime; sori exindusiate, superficial, covering the lower surface of the contracted fertile fronds | ... 57 |
[55] Lamina bipinnate with shallowly lobed pinnae; caudex short; stipe with 2 vascular strands forming an X-shaped strand at the base of the frond | ||
| Lamina 3 - 4-pinnate, or if bipinnate the pinnules deeply lobed; caudex sometimes arborescent; vascular strands several or a single arc, not forming an X-shaped strand | |
[56] Fronds simply pinnate; aerophores (projections of aerating tissue) at the base of the stipe, sometimes also at the base of the pinnae; sori acrostichoid, densely covering the entire lower surface of the contracted linear fertile pinnae, all pinnae fertile. | ||
| Fronds pinnate or more divided; aerophores lacking; sori not acrostichoid, scattered over the surface of +/- contracted fertile pinnae, only a few pairs of lateral pinnae fertile, deeply lobed | |
[54] Fertile part of frond not leaf-like, erect, branched or linear, attached to the base of the leafy part | ||
| Fertile frond or part of frond leaf-like, sometimes reduced in size as compared with the sterile | ... 59 |
[58] Fronds palmately divided, leaflets 3 or 5; veins anastomosing; sporangia large and thick-walled, united into a radial synangium | ||
| Fronds otherwise, if appearing palmate then leaflets more than 5, of pinnately lobed; sporangia may be radially arranged, sometimes with an indusium, not fused into a circular synangium | ... 60 |
[59] Veins copiously anastomosing, with free veins in the areoles | ... 61 | |
| Veins in most cases free and parallel, where anastomosing, no free veins in the areoles | ... 62 |
[60] Fronds dimorphous, sterile broad and often with 2 broad lobes at the apex, fertile narrow and acrostichoid with the sorus completely covering the lower surface | ||
| Fronds uniform, with two major lateral leaflets which may be further incised in a +/- radial manner; sori numerous, small and round, scattered over the lower surface of the frond | |
[60] Sori quite superficial on the lower surface of the lamina, or in a marginal groove | ... 63 | |
| Sori at the ends of veins or on special appendages | ... 65 |
[62] Sori completely covered by an indusium; fronds slender, trailing | ||
| Sori exindusiate | ... 64 |
[63] Fronds repeatedly pseudodichotomous, with a dormant apex between each pair of lateral branches, the ultimate branches +/- pectinate, apparently capable of indefinite growth | ||
| Fronds otherwise, ultimate branches not pectinate, not capable of indefinite growth | |
[62] Sporangia on special appendages at the ends of veins of the leaflets, or attached near the apex of the frond or its branches | ||
| Sporangia in sori at the ends of single veins, or uniting the ends of several veins, not on special appendages | ... 66 |
[65] Sori at the ends of single veins, exindusiate, sporangia mixed with glandular trichomes; apex of rhizome with hairs embedded in a mucilaginous secretion | ||
| Not as above, sori mostly indusiate, or proteted by the reflexed margins, not glandular; no such secretions | ... 67 |
[66] Indusium attached at the base of the sorus, flat and opening towards the margin, the margin flat and not reflexed | ||
| Sorus protected by a reflexed margin of lamina and a thinner inner indusium, sometimes exindusiate, or in a cup-shaped indusium at the ends of the veins | |
[53] Sporangia acrostichoid, entirely covering all or part of the lower surface of the fertile frond | ... 69 | |
| Sporangia not acrostichoid, sori discrete, and/or indusiate, or variously elongate | ... 74 |
[68] Rhizome dorsiventral, creeping on rocks | ... 70 | |
| Rhizome not dorsiventral, often massive, bearing a tuft of fronds at its apex | ... 71 |
[69] Veins free, or if anastomosing then the free veins nearly all pointing towards the margin; spores with a perispore | ||
| Veins much anastomosing with the free veins in the areoles pointing in all directions; spores lacking a perispore | |
[69] Only the upper pinnae fertile; veins copiously anastomosing with no free veins in the areoles | ||
| The whole frond fertile; in the sterile frond veins free or anastomosing otherwise | ... 72 |
[71] Veins free in sterile fronds, or with a single narrow row of costal areoles (best seen at the apex of the pinnae) | ... 73 | |
| Veins copiously anastomosing is sterile fronds, often with included free veinlets | |
[72] Fertile fronds simply pinnate | ||
| Fertile fronds bipinnate | |
[68] Sorus elongate along edge of lamina, continuous or nearly so | ... 75 | |
| Sorus otherwise, short, if elongate then not along edge of lamina | ... 79 |
[74] Edge of lamina reflexed, protecting sori | ... 76 | |
| Edge of lamina not reflexed, the sorus protected by an indusium attached at the base of the sorus and opening towards the margin of the lamina | |
[75] Rhizome creeping or scandent | ||
| Rhizome compact, generally erect | ... 77 |
[76] Rachis grooved on the upper surface, the groove open to admit the groove of the midrib of the pinnae (in species with simple, unlobed pinnae the edge of the rachis-groove does not open to admit grooves of costae, the lamina not decurrent along edge of rachis groove) | ||
| Rachis not so grooved, or if grooved then the edtge of the lamina may be decurrent along the edge of the rachis groove | ... 78 |
[77] Fertile lobes of frond much broader than sterile, the whole of each margin bearing a broad, thin, reflexed indusium | ||
| Fertile lobes not much broader than sterile, reflexed margin not continuous along larger fertile lobes, nor very broad | |
[74] Sorus elongate, continuous along each side of the costa of the pinna | ||
| Sorus otherwise, discrete, short, or if elongate then elongate along the veins | ... 80 |
[79] Sporangia on the surface of darkened, reflexed marginal lobes | ||
| Sporangia not on such lobes | ... 81 |
[80] Sorus elongate along the veins, at least some of them | ... 82 | |
| Sori short, or not elongate along the veins | ... 91 |
[81] Sorus protected by an indusium | ... 83 | |
| Sori lacking indusia | ... 87 |
[82] Sorus symmetrically divided by the line of the vein | ... 84 | |
| Sorus asymmetric or on one side of the vein | ... 85 |
[83] Rachis grooved, the groove open to admit the groove of the branch; scales lacking superficial hairs | ||
| Rachis somewhat grooved, the groove not open to admit the grooves of the pinnae; scales bearing superficial hairs | |
[83] Sori along the outer veins of the costal or costular areoles | ||
| Sori otherwise, mostly elongate along veins running towards the margin | ... 86 |
[85] Two vascular strands at the base of the stipe, uniting upwards to form a single X-shaped strand; scales mostly clathrate | ||
| Two vascular strands at the base of the stipe, uniting upwards to form a single U-shaped strand; scales not clathrate | |
[82] Sori spreading along all the veins of the lower surface | ... 88 | |
| Sori not spreading along all veins | ... 89 |
[87] Slender unicellular hairs present on the frond and on the scales | ||
| Slender unicellular hairs lacking on all parts of the plant | |
[87] Several vascular bundles in the stipe | ||
| Two vascular bundles at the base of the stipe, uniting upwards | ... 90 |
[89] White waxy powder on lower surface of lamina | ||
| No waxy powder present | |
[81] Sori at the ends of veins, at or close to the edge of the lamina, each in the base of a cup, or protected by an indusium attached below it, or by the reflexed edge of the lamina | ... 92 | |
| Sori not at the ends of veins, or if so, not close to the edge of the lamina | ... 95 |
[91] Sori each in the base of a cup | ||
| Sori protected by indusia or by the reflexed edge of the lamina | ... 93 |
[92] Sori protected by indusia opening outwards | ... 94 | |
| Sori protected by a reflexed edge of the lamina | |
[93] Pinnae articulate to the rachis | ||
| Pinnae confluent with rachis | |
[91] Rhizome dorsiventral | ... 96 | |
| Rhizome not dorsiventral | ... 99 |
[95] Sori lacking indusia | ... 97 | |
| Sori indusiate | ... 98 |
[96] Fronds lacking dormant apices, incapable of indefinite growth | ||
| Fronds with some dormant apices, often capable of indefinite growth | |
[96] Fronds simple | ||
| Fronds pinnately branched | |
[95] Fronds simple and jointed at the base, or pinnate and pinnae jointed to the rachis | ||
| Fronds otherwise, neither jointed at the base, nor the pinnae jointed to the rachis | ... 100 |
[99] Tree-ferns; sporangia with a complete, oblique annulus; many vascular bundles in stipe | ||
| Not tree ferns, although caudex sometimes quite long; annulus longitudinal, interrupted; vascular bundles in a simple ring (except Pleocnemia), or 2 uniting upwards | ... 101 |
[100] Rachis grooved, groove open to admit branch-rachis of pinna | ... 102 | |
| Rachis not grooved, or if grooved, then the groove not open to admit branch-rachis of pinna | ... 103 |
[100] Several vascular bundles in stipe | ... Dryopteridaceae | |
| Two vascular bundles at the base of the stipe, uniting upwards to form a single U-shaped strand | |
[101] Hairs, if present, multicellular; scales lacking superficial hairs or glands | ... 104 | |
| Hairs unicellular; scales bearing superficial hairs or glands | |
[103] Several vascular bundles in stipe | ||
| Two vascular bundles at the base of the stipe uniting upwards to form a single vascular strand |